Nasib Real Madrid Setelah Mundurnya Zinedine Zidane

Ekspresi pelatih Real Madrid, Zinedine Zidane saat pertandingan final Liga Champions antara Real Madrid dan Liverpool di Stadion Olimpiyskiy di Kiev, Ukraina, Sabtu, 26 Mei 2018. (AP Photo / Matthias Schrader)
Tuntutan di Real Madrid sangat tinggi. Zidane bisa saja bernasib sama dengan pelatih sebelumnya.



Zinedine Zidane baru saja meraih apa yang hanya bisa diimpikan oleh pelatih-pelatih sepakbola. Minggu (25/5/18) lalu, ia berhasil mengantarkan Madrid mengangkat gelar Liga Champions dalam tiga musim secara berturut-turut (2016, 2017, dan 2018).

Sir Alex Ferguson, Jose Mourinho, Pep Guardiola, hingga Carlo Ancelotti bahkan tidak bisa melakukannya. Sementara itu pelatih-pelatih legendaris seperti Arrigho Sacchi, Bob Paisley, juga Helenio Herrerra, hanya bisa mendekati pencapaiannya itu.

Publik sepakbola Spanyol, yang sempat meremehkannya sebagai “clap-your-hands coach”, sebuah sindiran bagi pelatih yang hanya bisa menyemangati tim dengan bertepuk tangan, tentu saja merasa tertampar dengan keberhasilan itu. Apalagi, ia berhasil meraih tiga gelar Liga Champions tersebut hanya dalam 2,5 tahun.

Belum lagi, jumlah gelar Zidane lainnya yang tak sedikit. Dalam kurun waktu tersebut, selain mempersembahkan tiga gelar Liga Champions, Zidane juga berhasil mempersembahkan 1 gelar La Liga musim 2016-2017, 1 gelar Supercopa de Espana 2017, 2 gelar Piala Super Eropa 2016 dan 2017, serta 2 gelar Piala Dunia antar klub FIFA tahun 2016 dan 2017.

Anggapan bahwa ia merupakan seorang pelatih yang tidak mengerti taktik dan hanya beruntung karena memiliki pemain-pemain kelas satu semakin terlihat mengada-ngada.

Namun, saat sinarnya semakin benderang bersama Madrid, Zidane membuat sebuah kejutan. Hanya seminggu setelah keberhasilan di Kiev, Ukraina, tepatnya dalam sebuah konferensi pers pada Kamis (31/5/2018), Zidane mengundurkan diri dari kursi pelatih Madrid.

“Saya sudah mengambil keputusan untuk tidak lagi melatih Madrid pada musim depan,” kata Zidane seperti dikutip The Guardian.

“Saya berbicara kepada presiden (Florentino Perez) untuk menjelaskan apa yang saya pikirkan. Saya pikir inilah saatnya, bagi saya dan bagi skuat Madrid. Saya tahu ini adalah momen yang aneh, tetapi saya pikir ini adalah saat yang tepat.”

“Ini adalah tim yang harus selalu menang dan butuh perubahan untuk melakukannya. Setelah tiga tahun, diperlukan wacana lain, metodologi kerja yang lain, dan itulah yang membuat saya mengambil keputusan ini.”

Media-media di Spanyol, terutama yang berbasis di Katalunya, mencoba mengungkap rahasia kesuksesan Zidane bersama Madrid. Karena tidak menemukan sesuatu yang konkret, mereka kemudian mengambil sebuah kesimpulan: Zidane hanya beruntung.

Di bawah asuhan Zidane, Marid memang tak semenarik Barcelona pada era Pep Guardiola. Los Blancos juga tak sedisiplin di bawah asuhan Mourinho yang suka bersikap ketus. Namun, mereka terus menang, membuat Jorge Valdano, mantan pelatih Madrid, mengeluarkan komentar filosofis yang menjadi ciri khasnya, “Tidak ada yang memainkan sepakbola yang buruk sebaik Madrid.”

Lalu, Apakah Zidane memang hanya beruntung?

Dalam tulisannya yang berjudul How Good Really is Zidane the Manager? Why The Real Madrid Boss Just Keep on Winning, Thore Haugstad berpendapat bahwa Zinedine Zidane banyak belajar dari Carlo Ancelotti. Ia mengatakan keduanya mirip dalam melakukan pendekatan taktik: mereka sering mengubah formasi dan memainkan sepakbola menyerang.

Haugstad tak salah. Ancelotti dan Zidane sendiri suka mengubah formasinya bukan tanpa sebab. Ancelotti sering mengubah formasinya karena baginya pemain lebih penting daripada sebuah sistem. Jadi asalkan ia mampu memainkan pemain-pemain terbaiknya, ia tak keberatan untuk memainkan formasi yang bisa menunjang para pemainnya.

Zidane juga seperti itu. Ia seringkali memainkan formasi tertentu bukan untuk menyesuaikan gaya permainan lawan, melainkan untuk mengakomodasi pemain-pemain terbaiknya yang sedang dalam kondisi prima. Malahan, ia kadang tak peduli dengan pendekat tim lawan. Pertandingan final Liga Champions 2018 bisa menjadi contohnya. Menghadapi Liverpool yang terkenal dengan gegenpressing-nya, Madrid justru bermain sempit dengan formasi 4-4-2 berlian dan memainkan bola-bola pendek untuk melakukan build-up serangan.

Sayangnya, pendekatan seperti itu tentu saja tidak selalu berhasil dengan baik. Di sinilah kemampuan Zidane yang tak banyak disadari orang ikut ambil bagian: ia pandai membaca permainan. Saat pendekatannya tak bekerja, Zidane sering kali mengubah jalannya pertandingan melalui pergantian-pergantian pemain yang dilakukannya.

Source

Comments

Popular posts from this blog

Subhanallah! Allah Mengirim Pasukan Misterius Berjubah Putih Di Gaza, Diduga Malaikat

Mitos Ujung Pelangi Ada Bidadari Mandi atau Tong Emas? Beginilah Kenampakan Sebenarnya

Misteri Legenda Mak Lampir, Yang Disembunyikan Dan Tidak Diketahui